Nyodok
Pagi tadi Darmin tidak masuk
sekolah. Sehari-hari ia nyodok becak Bang Mian yang kebetulan sedang pulang
kampung.
Darmin ingin punya kaos rider
seperti kepunyaan Tanto. Tetapi mana mungkin orang tuanya yang miskin tak
sanggup membelikannya?
Kebetulan sekali waktu Bang Mian
sedang pulang kampung becaknya dititipkan di rumah Darmin. Di kampung paling
tidak tiga hari.
Hitung-hitung jika waktu tiga hari dapat digunakan oleh Darmin untuk nyodok becak Bang Mian, kiranya pendapatannya cukup uintuk membeli kaos seperti yang diinginkannya.
Hitung-hitung jika waktu tiga hari dapat digunakan oleh Darmin untuk nyodok becak Bang Mian, kiranya pendapatannya cukup uintuk membeli kaos seperti yang diinginkannya.
Maka, sejak pagi tadi, Darmin pun
mulai nyodok becak Bang Mian. Ia telah minta izin kepada gurunya untuk tidak
sekolah selama tiga hari. Alasannya, hendak pergi ke kampung nengok neneknya.
Dari pagi kira-kira pukul enam
hingga sembilan malam, Darmin sudah dapat mengantongi uang lima ratus rupiah
lebih. Dan jika selama tiga hari ini selalu mujur demikian, cukuplah sudah uang
Darmin untuk membeli kaos rider. Bahkan mungkin lebih.
Dengan lenggang seenaknya, Darmin
mengayuh becaknya perlahan-lahan menuju ke gedung bioskop yang hampir bubaran.
Langit cerah, lampu-lampu listrik
di sepanjang jalan pun berseri-seri seperti mata si Darmin. Film pertunjukkan
kedua pun bubarlah. Penonton-penonton berjalan keluar. Dan Darmin pun menghentikan
becaknya di tempat yang kira-kira akan mendapat penumpang.
Di antara orang banyak yang baru
saja keluar dari gedung bioskop itu telihat juga guru Darmin beserta istrinya.
Rupanya ia pun habis menonton. Pak guru itu berjalan menuju arahnya. Darmin
mulai cemas.
“Selamat...selamat...” doanya
dalam hati sambil menekankan topinya dalam-dalam untuk menutupi wajahhya. Ia
tidak berani ke arah gurunya yang makin dekat itu.
“Jalan tongkol, Bang” Tiba-tiba
kata gurunya sambil memegang tepi kap becak Darmin.
“Lima puluh saja, Pak” sahut
Darmin singkat dengan suara agak dibesar-besarkan. Tetapi terasa agak gemetar.
“Tiga lima, ya” tawar gurunya.
“Baiklah!” kata Darmin untuk
menghindarkan percakapan yang lebih panjang lagi dengan gurunya itu.
Sambil menggenjot Becak yang
ditumpangi gurunya, Darmin bersyukur, sebab agaknya Pak Guru tidak menyangka
sedikit pun bahwa tukang becak yang menariknya itu sebenarnya si Darmin,
muridnya.
“Stop di sini!” kata gurunya
sesampai di depan rumahnya. Guru si Darmin dan istrinya pun turun sambil
menyodorkan dua lembar uang kertas yang diterima Darmin tanpa diperiksa lagi
Tetapi tiba-tiba ia terperanjat
setengah mati, ketika hendak memasukkan uang ongkos becak dari gurunya itu ke
kantongnya. Sebab, dua lembar uang kertas yang diterimanya itu ternyata bukan
lembaran dua puluh limaan atau puluhan, melainkan ribuan. Setelah berpikir
sejenak, tanpa ragu-ragu ia kembali memberikan uang itu kepada guruny. Dan,
tatkala itu tahulah Pak Guru bahwa penarik becak itu adalah Darmin, muridnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar